Bagi umat Islam, baik
pilkada maupun pilkara (pemilihan kepala negara) bukan semata-mata urusan
politik, akan tetapi urusan agama. Itulah sebabnya, masalah kepemimpinan
politik dibahas dalam kitab-kitab ʿaqāʾid dan ilmu uṣūluddīn.
Sebutlah misalnya kitab ʿaqā’id
an-Nasafī yang telah disalin dan diterjemahkan di kerajaan Aceh pada akhir abad
ke-16 (sekitar tahun 1590 Masehi).
Dinyatakan pada paragraf
sebelum akhir bahwa umat Islam wajib mempunyai pemimpin yang tugasnya
menegakkan syariat, membangun banteng pertahanan, menyiapkan tentara,
mengumpulkan zakat, menjaga keamanan dan ketertiban dengan memberantas para
penjahat, pencuri dan perampok, menyelenggarakan ibadah Jumat, merayakan
hari-hari besar Islam, menyelesaikan sengketa di masyarakat, mengurus sistem
peradilan dan sebagainya.
Dan persis di sinilah
letak perbedaan antara paradigma Islam dengan paradigma sekular. Dalam
paradigma sekular, urusan politik tidak ada hubungannya dengan agama, karena
agama itu soal ibadah, shalat, zakat, puasa, haji, umrah dan sebagainya.
Sementara dalam kerangka Islamic worldview, agama tanpa politik itu lemah, dan
politik tanpa agama itu lengah.
Untuk membaca sampai tuntas silahkan di unduh di link dibawah inii
https://drive.google.com/drive/folders/0B6AtC6v2dBh6RXpXRHJQeFVsS2c
0 komentar:
Posting Komentar