JERUK (Sebuah Renungan)
Ada tiga tipe manusia yang menggunakan tiga cara membentuk sebuah keyakinan, termasuk keyakinan agamanya. Orang pertama, karena setiap tema harus diyakini berdasarkan penelitian, ia mulai mengkaji satu tema lalu tema kedua dan begitulah seterusnya. Benaknya berpindah dari sebuah tema minor ke tema minor lainnya sebelum menghimpunnya dalam sebuah keyakinan yang kompleks. Ia menggunakan induksi, yaitu aksi intelektual dari tema partikular lalu berhenti di tema universal sebagai kesimpulan aksiomatis.
Orang kedua menularkan hukum sebuah objek partikular yang telah dikajinya atas objek partikular lainnya yang tidak dikajinya, lalu memastikan semua partikular yang sama dalam himpunan keyakinan universal sebagai kesimpulan. Metode yang digunakannya adalah kombinasi analogi dan induksi yang terbatas.
Orang ketiga hanya mengkaji tema universal yang merupakan muara tema-tema partikular lainnya. Ia hanya memeras otak untuk memahami tema mayor, yang meliputi minor-minor. Selanjutnya ia hanya menerima dan mengamalkan tema-tema minor yang merupakan konsekuensinya. Sebagai contoh, ia melakukan shalat, yang merupakan tema minor, sebagai konsekuensi keyakinan mayornya, yaitu Islam, tanpa merasa perlu tahu tentang dalil detailnya. Selanjutnya ia menjalankan aktivitasnya. Ketiga cara tersebut dibahas dalam sebuah bidang ilmu bernama epistemologi, yaitu ilmu tentang sumber dan anatomi pengetahuan.
Bisa dipastikan bahwa orang pertama tidak akan pernah berhenti mencari, membahas dan berdiskusi, bahkan mungkin tidak sempat melaksanakan keyakinannya, karena ia akan sibuk menjelajahi etalase tema-tema partikular yang masih mengganjal atau yang belum diproses oleh otaknya atau belum diyakininya. Ia adalah petualang wacana, tanpa mencapai sebuah kesimpulan universal yang bisa dijadikan sebagai pandangan dunia dan jalan hidupnya.
Sedangkan orang kedua hanya mengandalkan kemungkinan universal berdasarkan pengetahuan yang bersifat partikular, dengan tetap membuka ruang kecil bagi opsi dan kemungkinan lain yang bisa jadi menafikan kesimpulan universalnya. Ia senanatiasa diliputi oleh kecurigaan dan waw-was akan kesalahan yang mungkin akan muncul, karena belum diyakininya secara komprehensif. Ia tidak akan pernah memiliki keterikatan relijius. Ia bahkan akan selalu gamang dan tidak commited. Sisi positifnya, ia biasanya bersikap pluralis, toleran dan anti fanatisme.
Adapun orang ketiga tidak akan sibuk lagi dengan mempelajari dan mengkaji tema-tema partikular yang dianggapnya sebagai bagian dari tema universal yang telah diyakininya. Ia, misalnya, tidak akan menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mencari tahu dalil tentang detail-detail shalat, karena sudah memastikan sumber hukum yang diandalkannnya untuk dijadikan sebagai panutan dan rujukan.
Orang yang menggunakan cara ketiga (deduksi) tidak merasa perlu mengetahui dalil dan alasan serta detail hukum tema-tema yang bersifat partikular sebelum melaksanakannya. Ia laksana orang yang telah memeras otak untuk mencari kriteria ‘atasan’. Setelah menemukan dan meyakini seseorang sebagai atasannya dan dirinya sebagai bawahannya, ia tidak lagi memerlukan dalil untuk melaksanakan setiap perintah atasannya itu, karena perintah itu bersifat partikular, dan hanyalah konskuensi logis dari keyakinan universalnya akan status orang itu sebagai atasan. Kalau bawahan menanyakan alasan rasional dan tujuan perintah atasannya, sangat mungkin besok ia sudah kehilangan posisi sebagai ‘bawahan’ alias diPHK karena desersi atau ‘mogok taat’.
Manakah cara yang perlu diutamakan dan dipilih? Cara pertama bisa dipastikan sulit bahkan mustahil dicapai, kecuali bila dibatasi area objeknya. Tidaklah mungkin menetapkan hukum ‘air memuai bila suhunya mencapai 0 derajat celicius’ dengan mencoba semua fenomena air tanpa kecuali.
Cara kedua hanya efektif bila objek yang dikaji bersifat material. Ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia dan biologi, berpijak di atas induksi yang terbatas ini. Namun, agama dan sebagian ilmu rasional, seperti matematika, filsafat dan teologi, tidak bisa didekati dengan metode induksi, karena ia tidak bisa dihasilkan dari survei, investigasi dan penelitian empiris.
Dengan demikian, jelaslah agama dan keyakinan transenden cukup diyakini secara universal, sedangkan tema-tema di dalamnya, tidak perlu dipelajari secara argumentatif, kecuali bagi orang-orang tertentu yang punya cukup waktu dan bertugas untuk memberikan penjelasan-penjelasan tentang agama.
Kita tidak perlu mencoba setiap jeruk untuk mengetahui rasa dan kualitasnya. Kita juga tidak perlu menghabiskan waktu untuk mempelajari semua tema agama, mempelajari kitab-kitab kuning dan menjadi ‘ustadz’ hanya karena ingin menjadi orang saleh dan taat beragama. Yang perlu dilakukan adalah mencari kriteria umum yang rasional, agar bisa mengerjakan yang lain dan pulang dengan membawa plastik berisikan jeruk, bukan kulit jeruk.
Yang menggelikan, di tengah masyarakat beragama, ada sekelompok orang yang memastikan jeruknya sebagai ‘yang paling manis’ meski tidak menggunakan salah satu dari tiga metode tersebut di atas sambil mencemooh, membatilkan, dan tentu saja, menyesatkan dan mengkafirkan pemakan jeruk lain
~ Oleh: DR. Muhsin Labib, MA.
0 komentar:
Posting Komentar